BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Untuk memahami secara pasti latar
belakang pelaksanaan inseminasi buatan mengalami kesulitan karena tidak ada
kesepakatan siapa penemu pertamanya. Daniel Rumondor memberikan isyarat bahwa
inseminasi buatan agaknya diilhami oleh keberhasilan syeikh-syeikh arab
memperanakkan kuda sejak tahun 1322. Praktek inseminasi buatan pada manusia
secara tidak langsung terkandung dalam cerita Midrash di mana ben sirah
dikandung tidak sengaja karena ibunya memakai air bak yang sudah terampur
sedikit air mani. Dan eksperimen yang berhasil di perancis diikuti oleh laporan
dokter Amerika pada tahun 1866 bahwa ia berhasil melakukannya sebanyak 55 pada
6 orang wanita dan bayi inseminasi buatan pertama di nagara itu.
Latar
belakang melakukan inseminasi buatan adalah keinginan-keinginan sebagai
berikut:
1) Keinginan memperoleh atau menolong
untuk memperoleh keturunan;
2) Menghindarkan kepunahan manusia;
3) Memperoleh generasi jenius atau
manusia super;
4) Memilih suatu jenis kelamin;
5) Mengembangkan teknologi kedokteran.
1.2. Alasan Pemilihan Judul
Alasan
pemilihan judul “INSEMINASI BUATAN PADA
MANUSIA” tidak lain untuk meluruskan pandangan masyarakat terhadap permasalahan
INSEMINASI BUATAN.
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan
kami menyusun makalah ini, tidak lain agar kami sebagai penyusun dan para
pembaca bisa memahami dan menjunjung
tinggi hukum – hukum syariat serta dapat mempelajari lebih tenang seputar
permasalahan “Inseminasi buatan dalam Pandangan Islam”
1.4.
Metode Penulisan
Makalah
ini disusun berdasarkan metode pustaka dengan merujuk pada buku-buku,
majalah-majalah, makalah-makalah yang berdasarkan Alqur’an dan Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan merupakan terjemahan
dari istilah inggris artificial insemination. Dalam bahasa arab di sebut اَلتَّلْقِيْحُ yang berasal
dari kata لَقَّحَ-يُلَقِّحُ yang artinya mempertemukan / mengawinkan. Dalam
bahasa Indonesia ada yang menyebut pemanian buatan, pembuahan buatan, atau
penghamilan buatan.
2.2. Inseminasi Buatan yang diperbolehkan Menurut Hukum
Islam
Pelaksanaan inseminasi buatan yang diperbolehkan yang jika
dikaitkan dengan hukum islam,akan menyangkut hal-hal seperti:
1). Pengambilan bibit,
2). Penanaman bibit,
3). Asal penempatan bibit.
2.2.1 Pengambilan bibit
Yang
dimaksud dengan pengambilan bibit disini adalah pengambilan sel telur (ovum
pick up ) dan pengambilan \pengeluaran sperma.
1. Pengambilan Sel Telur (Ovum Pick
Up=OPU)
Dalam inseminasi buatan ada dua cara untuk pengambilan
telur, yaitu dengan Laparoskopi dan USG (Ultrasonografi). Dengan ara
laporoskopi folikel akan tampak jelas pada lapang pandangan laparoskopi
kemudian indung telur dipegang dengan penjepit dan dilakukan pengisapan. Cairan
folikel yang berisi sel telur ditampung dalam tabung. Cairan tersebut diperiksa
dibawah mikroskop untuk meyakinkan apakah sel telur sudah di temukan. Adapun
dengan cara USG, folikel yang tampak di layar ditusuk dengan jarum melalui
vagina kemudian dilakukan pengisapan folikel yang berisi sel telur seperti cara
pengisapan laparoskopi.
Yang perlu
dianalisis pada pengambilan ovum tersebut adalah melihat aurat wanita, karena
kedua cara pengambilan sel telur itu tidak dapat dilepaskan dengan melihat atau
pun meraba dan memasukkan sesuatu pada vagina.
Pada
dasarnya islam melarang melihat aurat orang lain dan setiap muslim diwajibkan
memelihara auratnya sendiri.Allah SWT berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْ مِنِيْنَ يَغُضُّوْا
مِنْ اَ بْصَا رِهِمْ وَ يَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ اَزْكَىلَهُمْ اِنّ
َاللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Katakanlah kepada orang
laki-laki yang beriman,hendaknya mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya;yang demikian itu adalah suci bagi mereka,sesungguhnya Allah maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Q.S.AN-NUR:30
وَقُلْ
لِّلْمُؤْمِنَتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَيُبْدِيْنَ
زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّماَظَهَرَمِنْهَا...........
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman,”Hendaklah mereka menahan pandangannya,dan memelihara kemaluannya,dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya,kecuali yang (biasa) tampak darinya
……………………………… Q.S.AN-NUR:31
Dalam praktek pengambilan sel telur seperti dijelaskan di
atas,para dokter ahli tidak lepas dari melihat bahkan meraba atau memasukkan
sesuatu dalam aurat wanita. Disamping itu para dokter sering juga berkhalwat
dengan pasien ketika mendiagnosa penyakit. Pelaksanaan tersebut jika diniati
dengan baik, terjaga keamanan, dan tidak merangsang sahwat dapat dikategorikan
sebagai hal yang darurat. Islam membolehkannya karena sesuai dengan kaidah
ushul fiqh.
الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَاتِ
“Keadaan
dharurat membolehkan sesuatu yang di larang”.
Demi mencegah
fitnah dan godaan setan , maka sebaiknya sewaktu dokter yang memeriksa pasien
dihadiri orang ketiga dari keluarga maupun tenaga para medis, sesuai dengan
kaidah ushul:
دَرْأُ الْمَفَا سِدُمُقَدَّمٌ
عَلَىجَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindari
kesusahan lebih diutamakan dari mengambil maslahat”.
Akan sangat baik jika dokter pemeriksa itu dari jenis
kelamin yang sama. Sulit dibayangkan jika dalam kondisi dharurat seperti itu
masih diharamkan melihat aurat wanita. Sebab ,bagaimana dengan wanita yang akan
melahirkan?
Berdasarkan uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa
pengambilan sel telur (ovum) dalam pelaksanaan inseminasi buatan dihalalkan
karena pertimbangan dharurat. Di samping kondisi itu,dokter pemeriksa pun harus
tetap menjaga Etik Kedokteran
2. Pengeluaran sperma
Di banding
dengan pengambilan sl telur,pengeluaran dan pengambilan sperma lebih
mudah.Untuk memperoleh sperma dari laki-laki dapat dilakukan antara lain
dengan:
a)
istimna’(masturbasi,onani)
b)
’azl
c)
Dihisap
langsung dari pelir(testis)
d)
Jima’dengan memakai kondom
e)
sperma
yang ditumpahkan ke dalam vagina yang dihisap dengan cepat dengan spuit,dan
f)
Sperma
mimpi malam.
Untuk
keperluan inseminasi buatan, cara yang terbaik adalah masturbasi(onani).Yang
menimbulkan persoalan dalam hukum islam adalah bagaimana hukum onani dalam
kaitan dengan pelaksanaan inseminasi buatan tersebut.
Dalam Alquran surat al-mu’minun ayat
5 yang berbunyi:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجَهُمْ
حَفِظُوْنَ
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya”
Allah SWT
memerintahkan agar manusia menjaga kemaluannya kecuali pada yang telah
dihalalkan.Secara umum Islam memandang bahwa melakukan onani tergolong tidak
etis. Mengenai hukum, fuqaha’(ahli fiqh) berbeda pendapat. Ada yang
mengharamkan secara mutlak, ada yang mengharamkan pada hal-hal tertentu, ada
yang mewajibkan juga pada hal-hal tertentu, ada pula yang menghukumi makruh.
Alasan
yang dikemukakan adalah bahwa Allah SWT memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala
keadaan kecuali kepada isteri atau budak yang dimilikinya. Ahnaf berpendapat
bahwa onani memang haram, tetapi kalau karena takut zina, maka hukumya
wajib.Kaidah ushul menyebutkan:
اِرْتِكَابُ
اَخَفُّ الضَّرُرَيْنِ وَاجِبٌ
“Mengambil yang lebih ringan dari
suatu kemudharatan adalah wajib”
Kalau
karena alasan takut zina, atau kesehatan, sedangkan tidak memiliki isteri atau
amah(budak) dan tidak mampu kawin, maka menurut hanabilah onani diperbolehkan.
karena kuatnya syahwat dan tidak sampai menimbulkan zina. Agaknya Yusuf
al-Qardhawy juga sependapat dengan hanabilah mengenai hal ini, Al-Imam
Taqiyyudin Abi Bakri Ibn Muhammad al-Husainy juga mengemukakan kebolehan onani
yang di lakukan oleh isteri atau ammah-nya karena itu memang tempat
kesenangannya.
Memperhatikan pendapat-pendapat mengenai hukun onani
diatas, maka dalam kaitan dengan pengeluaran\pengambilan sperma untuk
inseminasi buatan, boleh dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengambilan sel telur (ovum) dan sperma untuk keperluan inseminasi
buatan-dengan illat hajah tentunya-dapat dibenarkan oleh hukum islam.
2.2.2 Penanaman Bibit (Embryo Transfer)
Setelah sel telur dan sperma di dapat, proses inseminasi
buatan seperti telah disinggungkan pada uraian sebelumnya, dilakukan pencucian sperma
dengan tujuan memisahkan sperma yang motil dengan sperma yang tidak motil.
Sesudah itu antara sel telur dan sperma dipertemukan. Jika dengan teknik in
vitro, kedua calon bibit tersebut dipertemukan dalam awan petri, tetapi jika
teknik TAGIT sperma langsung disemprotkan ke dalam rahim Untuk menghindari
kemungkinan kegagalan, penanaman bibit biasanya lebih dari satu. Embrio yang
tersisa kemudian disimpan beku atau dibuang. Yang menjadi persoalan dalam
kaitan hukum islam di sini adalah bagaimana hukum pembuangan embrio tersebut.
Apakah hal tersebut dapat di golongkan kepada pembunuhan?.
Sebagai bahan analisis, patut dicatat bahwa embrio
tersebut tidak berada dalam rahim wanita. Kalau abortus diartikan sebagai
keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung,maka pembicaraan ini tidak
tergolong pada perbuatan aborsi, karena bibit tersebut belum/tidak berada pada
rahim wanita. Yang menambah rumit persoalan adalah pembuangan sisa embrio yang
dilakukan dengan sengaja. Sulit jika sekiranya jika pemusnahan itu bukan suatu
kesengajaan, karena para ahli inseminasi mengetahui persis telah terjadinya
konsepsi manusia dengan adanya pembuahan itu.
Hukum pengguguran/pembunuhan janin yang telah
diperselisihkan para fuqaha adalah pengguguran yang dilakukan 4 bulan setelah konsepsi,
mereka sepakat tentang keharamannya. Ulama’ Hanafiyah memperbolehkan
pengguguran janin sebelum mencapai 120 hari. Sebagian mazhab ini ada yang
berpendapat hukumnya makruh bila tanpa udzur. Ulama’ zaidiyah sebagian
dijelaskan oleh al-dasuqi menghukumi haram. Pendapat ini yang terkuat dalam
madzhab Maliki.
Setelah memperhatikan uraian diatas
penulis berkecenderungan untuk menyatakan bahwa pemusnahan embrio sisa
penanaman bibit dalam pelaksanaan inseminasi buatan itu
dihalalkan/diperbolehkan dengan alas an sebagai berikut:
1.
Embrio
tersebut belum ditanamkan dalam rahim wanita.
2.
Embrio
tersebut bias jadi tidak menimbulkan kehamilan kalau ditanamkan dalam rahim wanita.
3.
Embrio
tersebut belum dapat disebut sebagai manusia sebenarnya tetapi masih berupa konsepsi.
Dengan
alasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemusnahan embrio dalam pelaksanaan
inseminasi buatan tidak dapat digolongkan sebagai pembunuhan terhadap manusia
sebenarnya.
2.2.3 Asal dan Tempat
Penanaman Bibit
Sesuai
dengan klasifikasi asal dan tempat penanaman bibit yang terdapat dalam bab II
diatas, berikut akan dianalisis menurut tinjauan hukum islam.
Bibit dari suami istri dan ditanamkan pada isteri
Dari
uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa proses kejadian manusia, baik
menurut fuqaha maupun ahli kedokteran, dimulai dari pembuahan hasil pertemuan
sperma dan ovum. Secara alami, pertemuan sperma dan ovum itu melalui senggama. Maka dapat di
pahami bahwa di antara manfaat sanggama adalah mempertemukan sperma dengan
ovum. Dalam Islam, bersanggama hanya diperbolehkan setlah akad nikah yang sah.
Hubungan seksual yang tanpa didahului akad nikah dapat tergolong pada perbuatan
zina. Dengan zina, dapat juga terjadi kehamilan, walaupun hal ini biasanya
tidak menjadi tujuan akhir perzinaan. Secara umum motif zina hanya untuk
melampiaskan hawa nafsu dan bukan untuk memperoleh keturunan.
Inseminasi buatan yang bibitnya berasal dari sperma suami
dan ovum isteri – jika dikaitkan dengan batasan ikah dan zina – maka ia bukan
termasuk kategori zina karena suami isteri tersebut telah terikat dengan akad
nikah. Oleh sebab itu pertemuan sperma dan ovumnya dihalalkan.
2.3 Inseminasi Buatan yang Dilarang
menurut Hukum Islam
Adapun Inseminasi Buatan yang dilarang yaitu jika sperma dan
ovum bukan berasal dari suami istri yang memiliki ikatan nikah yang
sah.Rosulullah SAW bersabda:
عن ريفع بن ثابت الأنصارى..........قا
ل:[لاَيَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ باِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ اَنْ يَسْقِىَ
مَاؤَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ..........الْحَدِيْث].رواه ابي داود
DariRoifi’bin
Tsabit alAnshori.......telah bersabda Rosulullah SAW: Tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada allah dan hari kemudian air (spermanya)menyirami
tanaman orang lain (rahim wanita lain). (hadits riwayat Abu daud)
Dalam kasus ini lembaga Fiqh Islam OKI menghukumi haram
karena dikhawatirkan percampuran nasab dan hilangnya keibuan serta hilangnya
syra’ lainnya. Majelis Ulama’ DKI Jakarta juga menghukumi haram. Mahmud
Syaltut, Yusuf Al Qardhawi, Al-Ribasy dan Zakaria Ahmad al-Barry tidak menggambarkan
secara jelas kasus semacam ini. Akan tetapi mereka jelas-jelas
mengharamkan inseminasi buatan yang bibitnya (khususnya sperma) bukan berasal
dari suaminya yang sah. Dokter H.Ali Akbar mengqiyaskan hal ini dengan
radha’ah.
Berdasarkan alasan diatas maka
pembuahan ovum dengan sperma dari suami yang tidak memiliki ikatan nikah yang
sah tidak dapat dibenarkan oleh islam, dan dapat disebut juga sebagai zina.
2.3.1 Status Anak Hasil Inseminasi Buatan
Inseminasi
buatan terbagi dua yaitu Artificial insemination by husband disebut dengan
homologous dan artificial insemination by donor disebut dengan
heterologous.Pembagian semacam ini agaknya kurang pas. Sebaiknya dipakai
istilah pembuahan sperma dan ovum yang bukan dari pasangan yang memiliki ikatan
pernikahan yang sah. Dalam kamus, donor biasa diterjemahkan a giver dan person
who gives, yang dapat diindonesiakan sebagai penderma. Klasifikasi
inseminasi buatan sebagaimana dikemukakan di atas ada yang tidak termasuk dalam
kategori donor, seperti inseminasi model kedua. Pembagian semacam ini akan
mempunyai pengaruh dalam analisis status anak seprti dibahas di bawah ini.
Uraian berikut didasarkan atas pengertian bahwa pembuahan
yang dilakukan bukan dari pasangan yang memiliki ikatan pernikahan tergolong
perbuatan zina walaupun para fuqaha’ terdahulu agaknya cenderung membatasi zina
dengan Masuknya zakar laki-laki kedalam farji wanita yang tidak terikat dengan
pernikahan. Definisi semacam ini agaknya hanya melihat dari satu sisi yaitu
sisi cara, bukan sisi hakikat. Hakikatnya “Upaya mempertemukan sperma dan ovum
yang tidak mempunyai ikatan pernikahan yang sah.” Berdasarkan pengertian
diatas, anak hasil inseminasi buatan yang secara garis besar dibagi menjadi
dua: pembuahan sperma dan ovum yang memiliki ikatan nikah dan yang tidak
memiliki ikatan nikah.
1. Anak hasil pembuahan sperma dan ovum yang memiliki ikatan
nikah
Dalam hal
penanaman embrio bias terdapat dalm tiga kemungkinan, pada rahim isteri sendiri
yang memiliki ovum (tidak poligami) , pada isteri sendiri yang tidak memiliki
ovum (berpoligami), dan pada orang lain.
1.1. Pada isteri sendiri
yang memiliki ovum
Status
anak inseminasi jenis ini, seperti yang telah disinggung di atas, adalah anak
kandung, baik secara ginetik maupun hayati. Hal-hal yang menyangkut pemakaian
nama bapak sebagai sumber keturunan, perwalian, kemahraman, dan waris berlaku
sebagai anak kandung.
1.2. Pada isteri sendiri yang tidak memiliki ovum.
Kalau
ditinjau secara lahiriyah dan hayati, anak tersebut adlah anak milik ibu yang
melahirkan.Tetapi kalau ditinjau seara hakiki, anak tersebut adalah anak yang
mempunyai bibit, karena wanita yang melahirkan itu hanya menerima titipan
embrio.
1.3.Pada wanita lain yang tidak
memiliki ikatan nikah
Sebagaimana
yang telah diuraikan pada nomor 1 dan 2, anak tersebut dapat diqiyaskan dengan
anak susuan karena wanita yang melahirkan ini hanya dititipi embrio hasil
pertemuan sperma dan ovum pasangan yang terikat dengan akad nikah.
2. hasil pembuahan sperma dan ovum yang
tidak memiliki ikatan nikah.
Yang tergolong pada model ini
adalah:
2.1 Sperma suami yang sudah meninggal dengan ovum isteri dan
ditanamkan pada rahim isteri.
2.2. Sperma laki-laki lain dengan ovum wanita yang tidak bersuami
dan ditanamkan pada rahim wanita yang tidak bersuami tersebut.
2.3. Sperma suami dengan ovum wanita lain dan ditanamkan pada
rahim isteri.
Secara umum, pembuahan sperma dan ovum pada semua jenis
di atas dapat dikategorikan sebagai zina.
Secara umum,
pembuahan sperma dan ovum pada semua jenis di atas dapat dikategorikan sebagai
zina. Diantara dalil yang mengharamkan pembuahan sperma dan ovum yang tidak
memiliki ikatan nikahialah sabda Rosuluallah SAW yang berbunyi:
لايحل
لامرئ يؤمن باالله واليم الاءخران يسقىماؤه زرع غيره.اخرجه ابودوودوالثرمذىوصححه
ابن حبان وحسنهالبزار “
Tidak halal bagi seseorang yang beriman
kepada allah dan hari kemudian air (spermanya)menyirami tanaman orang lain
(rahim wanita lain). (hadits riwayat Abu daud, Tirmidzi dan dianggap sah oleh
Ibnu Hibban, tapi dianggap hasan oleh al-Bazzar)
2.4. Hukum Bayi Tabung/Inseminasi Buatan Menurut Islam
Kalau kita hendak mengkaji masalah bayi tabung dari segi
hukum Islam, maka harus dikaji oleh dengan memakai metode ijtihad yang lazim
dipakai oleh para ahli ijtihad, agar hukum ijtihadi-nya sesuai dengan
prinsip-prinsip dan jiwa Al-Qur'an dan Sunah yang menjadi pegangan umat Islam.
Sudah tentu ulama yang melaksanakan ijtihad tentang masalah ini, memerlukan
informasi yang cukup tentang teknik dan proses terjadinya bayi tabung dari
cendikiawan Muslim yang ahli dalam bidang studi yang relevan dengan masalah
ini, misalnya ahli kedokteran dan ahli biologi. Dengan pengkajian secara
multidisipliner ini, dapat ditemukan hukumnya yang proporsional dan mendasar.
Bayi
tabung/inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami
istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain
termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam
membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke
dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar
rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri,
asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara
inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami,
suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum
Fiqh Islam:
َالْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ
الضَّرُوْرَةِ وَالضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ.
Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan
seperti dalam keadaan terpaksa (emergency). Padahal keadaan darurat/terpaksa
itu membolehkan melakukan hal-hal yang terlarang.
Sebaliknya,
kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan atau
ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina (prostitusi). Dan sebagai
akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya
berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Dalil-dalil
syar'i yang dapat menjadi landasan hukum untuk mengharamkan inseminasi
buatan dengan donor, ialah sebagai berikut:
1.
Al-Qur'an Surat Al-Isra ayat 70:
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم
مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
﴿٧٠﴾
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
dan Surat At-Tin ayat 4:
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ﴿٤﴾
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya.
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakan
oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga
melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan
manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan
juga menghormati martabat sesame manusia. Sebaliknya inseminasi buatan dengan
donor itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia (human dignity) sejajar
dengan hewan yang diinseminasi.
2.
Hadis Nabi:
لاَيَحِلُّ
لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ اْلاَخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ
غَيْرِهِ
Tidak halal bagi seseorang yang
beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman
orang lain (vagina istri orang lain).
Hadis riwayat Abu Daud, Al-Tirmidzi,
dan Hadis ini dipandang sahih oleh Ibnu Hibban.
Pada zaman imam-imam mazhab masalah bayi tabung/inseminasi
buatan belum timbul, sehingga kita tidak memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadis tersebut bisa menjadi dalil untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan
donor sperma dan/atau ovum, karena kata ma' ((ماء di dalam bahasa Arab juga di dalam Al-Qur'an bisa dipakai untuk
pengertian air hujan atau air pada umumnya, seperti tersebut dalam Surat Thaha
ayat 53; dan bisa juga untuk pengertian benda cair atau sperma seperti pada
Surat An-Nur ayat 45 dan Ath-Thariq ayat 6.
3.
Kaidah hukum Fiqh Islam yang
berbunyi:
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِمُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْصَالِحِ
Menghindari madarat (bahaya) harus
didahulukan atas mencari/menarik maslahah/kebaikan.
Kita dapat memaklumi bahwa inseminasi buatan/bayi tabung
dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madaratnya daripada
maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang
keduanya atau salah satunya mandul atau ada hambatan alami pada suami dan/atau
istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena
saluran telurnya (tuba palupi) terlalu sempit atau ejakulasinya (pancaran
sperma) terlalu lemah. Namun, mafsadah inseminasi buatan/bayi tabung itu jauh
lebih besar, antara lain sebagai berikut:
a. Percampuran nasab, padahal Islam
sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab, karena ada
kaitannya dengan ke-mahram-an (siapa yang halal dan siapa yang haram dikawini)
dan kewarisan;
b. Bertentangan dengan sunnatullah atau
hukum alam;
c. Inseminasi pada hakikatnya sama
dengan prostitusi/zina, karena terjadi pencampuran sperma dengan ovum tanpa
perkawinan yang sah;
d. Kehadiran anak hasil inseminasi
buatan bisa menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung
dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali
bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter/mental si anak dengan bapak-ibunya;
e. Anak hasil inseminasi buatan/bayi
tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya
adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui
asal/nasabnya;
f. Bayi tabung lahir tanpa proses kasih
saying yang alami (natural), terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang
harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suami istri yang punya benihnya,
sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan
ibunya secara alami (perhatikan Al-Qur'an Surat Al-Ahqaf ayat 15).
Mengenai status/anak hasil inseminasi dengan donor sperma
dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak
hasil prostitusi. Dan kalau kita perhatikan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No.
1/1974: "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah"; maka tampaknya memberi pengertian bahwa bayi
tabung/anak hasil inseminasi dengan bantuan donor dapat dipandang pula sebagai
anak yang sah, karena ia pun lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal-pasal dan ayat-ayat lain dalam UU
Perkawinan ini, terlihat bagaimana besarnya peranan agama yang cukup dominant
dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan.
BAB. III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Inseminasi
buatan merupakan terjemahan dari istilah inggris artificial insemination. Dalam
bahasa arab di sebut اَلتَّلْقِيْحُ yang berasal
dari kata لَقَّحَ-يُلَقِّحُ yang artinya mempertemukan / mengawinkan. Dalam
bahasa Indonesia ada yang menyebut pemanian buatan, pembuahan buatan, atau
penghamilan buatan.Pelaksanaan inseminasi buatan yang
diperbolehkan yang jika dikaitkan dengan hukum islam,akan menyangkut
hal-hal seperti:1). Pengambilan bibit,2). Penanaman bibit,3). Asal penempatan bibit.Adapun Inseminasi Buatan yang
dilarang yaitu jika sperma dan ovum bukan berasal dari suami istri yang
memiliki ikatan nikah yang sah.Rosulullah SAW bersabda:
عن ريفع بن ثابت الأنصارى..........قا
ل:[لاَيَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ باِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ اَنْ يَسْقِىَ
مَاؤَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ..........الْحَدِيْث].رواه ابي داود
DariRoifi’bin
Tsabit alAnshori.......telah bersabda Rosulullah SAW: Tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada allah dan hari kemudian air (spermanya)menyirami
tanaman orang lain (rahim wanita lain). (hadits riwayat Abu daud)
sudah menjadi kewajiban kita bersama
untuk selalu mengingatkan kepada masyarakat untuk dapat berbuat yang lebih baik,
karena bagaimanapun Pendidikan Agama memiliki peran penting dalam proses
pembangunan karakter masyarakat dalam bangsa ini.
3.2 Saran
Dengan demikian kami sebagai penyusun makalah
mengharap kepada semua pembaca agar mulai mengerti dan paham akan pentingnya
mempelajari dan menyimak tentang apa ang dimaksud dengan Inseminasi Buatan
dalam Pandangan Islam. Serta dapat pula mengetahui lebih jauh mana yang
diperbolehkan dan mana yang dilarang Inseminasi Buatan dalam Hukum Islam.
Daftar pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar