BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan
dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia
ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau
kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah,
ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi
dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala
kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkankesadaran,
yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dankoheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang;
1.1.1 Disusun
metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas),
dan yang
1.1.2 Dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan
menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan
untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan
menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu
sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain
sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang
berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti
akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki
tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai
hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia .Bagian filsafat yang
paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang
merupakan sebab dari segala kebenaran (Al-Kindi, 801 – 873 M).
Metode filsafat adalah metode
bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang
bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat
mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan
universal.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua
mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang
segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala
sudut pandang. Thinking about thinking.
Meski
bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya
masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa
kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah
sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan
filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah
mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala
esensi kehidupan.
1.2. Permasalahan
Minim
ilmu pengetahuan yang kita ketahui
tentang “SEJARAH FILSAFAT “serta
bagaimana cara kita dapat menerapkan penelitian-penelitian ilmiah yang
dihasilkan dari pemikiran filsafat.
1.3. Tujuan
Tujuan
penulisan dalam makalah ini agar setiap
orang yang menemukan ilmu pengetahuan dan tehnologi baru dapat dipandang
sebagai filusuf atau sarjana,seseorang
dapat membangun filsafat pribadinya sesuai kedewasaan mereka dalam berpikir.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat
banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan
karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan
agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa
ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan
menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat
Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang
agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan
“Filsafat Kristen”.
2.1.1 Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah
1. Filsafat
Barat
‘‘‘Filsafat
Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini
berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya,
tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan rantai ketika
salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry
telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan
Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah,
maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas
Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam
pada dinasti Abbasyah.
Tokoh
utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes,
Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich
Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam
tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas
jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang
menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.
Tema
pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu
yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang
keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi.
Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara
harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang
pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema
ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah
nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai sosial .
2. Filsafat
Timur
‘‘‘Filsafat
Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat,
terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih
lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain
Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga
Mao Zedong.
2.1.2 Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama
1. Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat
Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama
Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu
seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam
dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik
menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun
kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid.
Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam
justru Tuhan ‘sudah ditemukan.’
Pada
mulanya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian Timur pada
abad ke-6 M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan
seputar alam, manusia, dan Tuhan. Dari sinilah lahirlah sains-sains besar,
seperti fisika, etika, matematika, dan metafisika yang menjadi batubara
kebudayaan dunia.
Dari
Asia Minor (Mediterania) bergerak menuju Athena yang menjadi tanah air
filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM,
filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.
2. Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat
Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan
zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada
dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali
kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah
ontologis[1] dan
filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli
masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan
lain sebagainya.
Selain
dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan
pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme,
dan lain sebagainya.
3. Filsafat Budha
‘”Filsafat
Buddha”’ dalam
bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan
sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar
kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan
yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan
untuk merujuk Siddharta Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman
Lumbini.
Sidharta
adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”).
Dalam pandangan lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang
telah sadar.Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang
hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang
menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang
sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada
kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan)
dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan.
Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha[2] adalah
serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha
dibandingkan dengan dua lainnya.
4. Filsafat Taoisme
‘”Filsafat
Taoisme”’ merupakan
filsafat Laozi[3] dan
Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata
“Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi merupakan asas atau
jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta
dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”.
Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah.
Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan
berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”.
Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan
juga mendewakan.
Taoisme
juga memperkenalkan teori Yinyang. Yin dan Yang dengan saintifiknya
diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Setiap benda adalah dualisme,
terdapat positif mesti adanya negatif; tidak bernegatif dan tidak berpositif
jadinya kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan magnet, magnet memiliki kutub positif
dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa diasingkan; tanpa positif, tidak akan
wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.
2.2. Kajian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa
dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa
dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena
kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang
sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja,
padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari.
Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak
tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan
realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa
dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa[4].
Banyak pengertian-pengertian atau
definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf.
Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan
tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika
dan teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa
definitif pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk
melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan
batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan
nilainya. Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang
kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang
diambil dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia
dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.)[5],
setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles)
yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap dirinya
“philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah
dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam
bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga
diambil dari bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata
tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia =
persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti
harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi
yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir
ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami
bidang falsafah disebut “filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy,
yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim
diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan.
Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti
cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata
luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan
meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual,
pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam
memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Pengertian filsafat menurut para
ahli
1. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf
Yunani yang termasyhur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan:
Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang
berminat mencapai kebenaran yang asli).
2. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
2. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3. Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM)
politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan: Filsafat adalah pengetahuan
tentang sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim
terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
5. Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering
disebut raksasa pikir Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
- Apakah
yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
- Apakah
yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
- Sampai
di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh agama)
- Apa
itu manusia ( dijawab oleh Antropologi )
6. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar
psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir
radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang
hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat
berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
7. Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: ilmu
filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan
bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Yang menjadi persamaan dari semua
para ahli tentang filsafat yaitu sebuah ilmu untuk menyelidiki segala sesuatu
secara mendalam.
Sedangkan perbedaannya adalah kalau
menurut plato dan Aristoteles filsafat adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui
nilai kebenaran tentang segala sesuatu. Sedangkan menurut yang lainnya bahwa
filsafat itu adalah ilmu untuk memahami atau mendalami secara radikal dan
integral serta sistematis hakikat Tuhan, hakikat alam semesta, hakikat manusia.
Perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat yang disebabkan oleh
pengaruh lingkungan dan pandangan hidup yang berbeda serta akibat perkembangan
filsafat itu sendiri
2.3. Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya
kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya
kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran
mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan
digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para
filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum
pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari
keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis
yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai
berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka
mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti
kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati
problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini,
terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta
kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan
filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat,
muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika
orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan
lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada
saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa
filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu
seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani,
tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.
2.4. Sejarah
Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia
(Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani
pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta
(sekarang di pesisir barat Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan
aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran
filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui
asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Dalam buku History and Philosophy
of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah
filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya
tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.
2.4.1 Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa
ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap
sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber
kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan
menusia yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga berpendapat
bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa
bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua
badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama
yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam
semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah
mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang lebih
berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato,
Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.
2.4.2 Periode Kedua, Periode
setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja
yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja,
dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami
kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat
seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi
otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber
kebenaran.
2.4.3 Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad
6-13 M)
Pada
masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang
menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau
kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli
dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara
tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam
hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran
dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat,
Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan
kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu
Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan
kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah
perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan
porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat
2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama
mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti
Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M),
yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan
John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar
filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan
Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas
menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti
Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi
bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa
seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat
dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat
di Universitas Paris,tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan
Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan
oleh filosof Islam.
Sebagaimana
telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari
orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM),
kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh
muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman
Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya
Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab
filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja
Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin
karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal
Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan
filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad Iqbal, dan Ibnu Rushd.
Berbeda
dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur,
Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof Islam lainnya yang lahir
di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu
baja dan Ibnu Tufail[6] merupakan
pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi
sahabat.
Sedangkan
Ibnu Rushd[7] yang
lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah
mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan
kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan
Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk
mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah
memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada
khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai
atheis.Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula
oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi
menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna,
oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan
antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh
Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul
Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk
menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman
Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat
menyebabkan seseorang menjadi atheis.Untuk mencapai kebenaran sejati menurut
Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku
karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya
Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan
pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya
pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin
(1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd
merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam
peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran
dengan kematian filsafat.
Pada
pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu
Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd
(Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang menentang ajaran
filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan
Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan
argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya
Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak
lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
2.4.4 Periode
Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya
kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku
filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa
Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa
Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di
Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130
– 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke
Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat
Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks
Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin
oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh
pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat
membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja
mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal
Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran
filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II
menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada
Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki
akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa
latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk
mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum
muslimin.Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas
dari hasil terjemahan Michael Scot.
Banyak orientalis menyatakan bahwa
Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan
judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan
oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke
dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah
Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun
dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu
pengetahuan di Jazirah Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat,
usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk
tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke
Toledo pada tahun 1256. Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq
karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada
pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh
Colonymus pada Tahun 1328.
2.4.5 Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal
Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang
berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga
awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran
Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas,
empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit
melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona
yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger
Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang
berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini
Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga
menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan
Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung
Revolusiilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak
muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang
menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia
bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak
untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J
.Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal
berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit
dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam
untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan
peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha
membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis
habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam
menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para
filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci
atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia
sendiri.Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti
berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini
pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang
inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua
pendapat berbeda itu.
Aliran
rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku
Discourse de la Methode[8] tahun
1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua
pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau
suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka
kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi
dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak
dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi
kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku
menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu
langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (
menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal
lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan
“jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et
distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus
diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan
kebenaran. Descartes adalah pelopor kaum
rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam
pikiran.
Aliran
empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih
pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang
bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume
merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan
tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang
tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun
Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan
suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat
bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah
bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal
kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar
kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan
konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak
mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”),
namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”.
Namun,
menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia
tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan
waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera
kita.Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik.
Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam
manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak
terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh
pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka
aliran filsafat masa kini.
Begitulah
pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist
diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah mempelajari rumusan-rumusan
tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:
a. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
a. Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
b. Filsafat
adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau
mendalami secara radikal dan integral serta sistematis
hakikat sarwa yang ada, yaitu:
hakikat sarwa yang ada, yaitu:
- Hakikat
Tuhan,
- Hakikat alam semesta, dan
- Hakikat manusia,
- Hakikat alam semesta, dan
- Hakikat manusia,
serta sikap manusia sebagai konsekuensi
dari paham tersebut. Perlu ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak
bertentangan, hanya penekanannya saja yang berbeda.
Filsafat
adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan
nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca
indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara
keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta
tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Filsafat
menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi
khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan
sifat dasarnya, nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan
kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh
terhadap kehidupan dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan erat dengan
bidang-bidang pokok pengalaman manusia.
Jauh
sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu
sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika,
matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan
bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka
itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang
pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah
dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode
filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang
bertanya. Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu
dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu
yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Banyak
yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang
berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir.
Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada
kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Dalam
perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa pasang surut. Ketika
peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja dan imperium Romawi
yang bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di mana dianggap mengancam
kedudukannya sebagai penguasa ketika itu.
Filsafat
Yunani kembali muncul pada masa kejayaan Islam dinasti Abbasiyah sekitar awal
abad 9 M. Tetapi di puncak kejayaannya, dunia filsafat Islam mulai mengalami
kemunduran ketika antara para kaum filsuf yang diwakili oleh Ibnu Rusd dengan
para kaum ulama oleh Al-Ghazali yang menganggap filsafat dapat menjerumuskan
manusia ke dalam Atheisme bergolak. Hal ini setelah Ibnu Rusd sendiri
menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai
kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli atau mistikus agama.
Setelah
abad ke-13, peradaban filsafat islam benar-benar mengalami kejumudan setelah
kaum ulama berhasil memenangkan perdebatan panjang dengan kaum filosof. Kajian
filsafat dilarang masuk kurikulum pendidikan. Pemerintahan mempercayakan semua
konsep berfikir kepada para ulama dan ahli tafsir agama. Beriringan dengan itu,
di Eropa, demam filsafat sedang menjamur. Banyak buku-buku karangan filosof
muslim yang diterjemahkan kedalam bahasa latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa
setelah pihak gereja berkuasa pada masanya dan sebelum peradaban Islam mulai
menerjemahkan teks-teks aristoteles dan lain sebagainya oleh Al Kindhi, di
Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi buku-buku filsafat hasil peradaban
Yunani.
Entah
kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia islam bisa dikatakan telah usai
dan berpindah ke eropa, peradaban islam pun mengalami kemunduran sementara di
eropa sendiri mengalami masa yang disebut sebagai abad Renaissance atau abad
pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M.
Tapi tidak
demikian halnya dalam komunitas gereja. Periode ini juga menghantarkan dunia
kristen menjadi terbelah. Doktrin para pendeta katolik terus mendapatkan protes
dari kaum Protestan.
Adapun
para filsuf zaman modern setelah masa aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan
bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga
dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Para filsuf modern yang
tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan
lain sebagainya.
3.2 Saran
Dengan
adanya makalah sederhana ini penulis mengharapkan agar para pembaca dan
rekan-rekan Mahasiswa mengenal lebih jauh tentang sejarah filsafat mulai dari
dunia barat sampai timur serta fisafat modern masa kini dan fisafat didalam
berbagai ajaran agama. Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan karna keterbatasan ilmu yang kami miliki, untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar dalam pembuatan makalah
kedepan akan lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar