Family

Family

Selasa, 23 Desember 2014

Askep Morbus



BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata, otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
Kusta kebanyakan ditemukan di Afrika Tengan dan Asia Tenggara, dengan angka kejadian di atas 10 per 1.000. hal ini disebabkan meningkatnya mobilitas penduduk, misalnya imigrasi, pengungsi dan sebagainya. Sebagaimana yang dilaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Di India jumlah kasus kira-kira 4 juta, pada tahun 1961 jumlah penderita kusta sebesar 2,5 juta, pada tahun 1971 jumlah penderita 3,2 juta dan tahun 1981 jumlah penderita 3,9 juta. Kusta juga banyak ditemykan di Amerika Tengah dan Selatan dengan jumlah kasus yang tercatat lebih dari 5.000 kasus.
Selama tahun 2000 di Indonesia ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan 1.499 penderita anak (10,1%). Selama tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini 10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus (8,9%) pada tahun 2002. Di tingkat propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Propinsi yang paling sedikit menemukan kasus baru adalah propinsi adalah Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001 dan 4 kasus pada tahun 2002.
Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks bukan hanya dari segi medis tetapi juga menyangkut masalah sosial ekonomi, budaya dan ketahanan Nasional. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan rasa takut, malu dan isolasi sosial berkaitan dengan penyakit ini. Laporan tentang kusta lebih kecil daripada sebenarnya, dan beberapa negara enggan untuk melaporkan angka kejadian penderita kusta sehingga jumlah yang sebenarnya tidak diketahui. Melihat besarnya manifestasi penyakit ini maka perlu dilakukan suatu langkah penanggulangan penyakit tersebut. Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya penanggulangan penyakit kusta sebagai judul makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit kusta dan penanggulangannya.

1.2       Rumusan Masalah
1.2.1    Apa Definisi, Etiologi dan Patofisiologi Morbus Hansen ?
1.2.2    Bagaimana pengkajian pada klien Morbus Hansen ?
1.2.3    Diagnosa Keperawatan apa yang muncul pada Klien Morbus Hansen dan Intervensinya ?

1.2       Tujuan Penulisan
1.2.1    Tujuan Umum
            Mahasiswa mengetahui gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen.
1.2.2    Tujuan Khusus
a.                  Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan Morbus Hansen.
b.                  Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen.
c.                   Mahasiswa mampu menyusun intervensi keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen.
d.                  Mahasiswa mampu menerapkan implementasi keperawatan pada klien dengan Morbus Hansen.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Anatomi Fisiologi Integumen
Sistem integument merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang menutupi permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering disebut kulit. Kulit merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling luar sehingga mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme serta mudah dilihat individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan pembuluh darah, saraf, dan kelenjar yang tidak berujung, semuanya memiliki potensi untuk terserang penyakit. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% dari berat badan. Secara mikroskopis, struktur kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis.
2.1.1    Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis adalah lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung pembuluh darah dan saraf. Tebalnya di kulit biasa 0, 3 mm, Ditelapak tangan dan kaki tebalnya 1.5 mm. Waktu yang diperlukan dari lapisan yang paling bawah menjadi paling luar 30 hari.
Bagian-bagian lapisan epidermis:
a.        Stratum corneum
Adalah lapisan tanduk yang berada paling luar, terdiri atas beberapa lapis sel gepeng yang mati dan tidak berinti dan mengandung zat keratin.
b.        Stratum lucidum
Adalah lapisan yang terdapat langsung dibawah laisan korneum, merupakan lapisan selgepeng tanpa inti dengan  protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin.


c.         Stratum Granulosum
      Merupakan lapisan epidermis yang mempunyai fungsi penting dalam pembentukan protein dan ikatan kimia stratum korneum.  selnya gepeng,berinti dan protoplasma berbutir besar.
d.        Stratum Spinosum
       Adalah lapisan yang mengalami prose mitosis. Protoplasmanya jernih karena mengandung glikogen dan inti selnya di tengah-tengah.  Sel bentuk dan besarnya berbeda karena proses mitosis.
e.        Stratum basale
       Merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang berbaris seperti pagar (palisade). Didalam lapisan ini terdapat melanosit, sel pembentuk melanin (melanosit) merupakan sel-sel berwarna muda mengandung pigmen-pigmen melanosom.
2.1.2    Lapisan Dermis
            Adalah lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.        Pars Papilaris (Stratum Papilar)
yaitu bagian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah yang menyokong dan member nutrisi pada epidermis. Lapisan papila hampir tidak mengandung jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang tipis. Lapisan ini dikenal dengan lapisan subepitel karena dibawah lapisan epitel epidermis. Lapisan ini disebut juga lapisan papila karena terdapat papila (kecil, seperti jari-jari) yang berikatan dengan epidermis. Kebanyakan papila mengandung kapiler untuk memberi nutrisi pada epidermis. Papila dengan serabut dobel ditelapak tangan dan kaki membentuk sidik jari.
b.        Pars Retikularis (Stratum Retikularis),
Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang kasar dan berkas serabut yang saling bersilangan membentuk seperti jaring. Garis-garis serabut tersebut membentuk Cleavage yang penting dalam proses pembedahan. Sayatan bedah yang memotong garis cleavage lebih sulit sembuh daripada yang paralel dengan garis ini. Lapisan reticular sangat banyak mengandung pembuluh darah, syaraf, ujung-ujung syaraf bebas, sel-sel adiposa(lemak), kelenjar minyak dan akar rambut, reseptor untuk tekanan dalam. Bagian terbawah lapisan ini mengandung serabut otot polos (khususnya didada dan putting susu genital) dan folikel rambut.
Disekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan leukosit yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing. di samping itu, di dalam lapisan dermis juga terdapat akar rambut dan kelenjar keringat.
Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu:
Ø  Kelenjar ekrin, yang berukuran kecil, terletak di bagian dangkal dermis dengan secret yang encer. Kelenjat ini langsung bermuara di permukaan kulit. kelenjat ini terdapat di seluruh permukaan kulit, terbanyak pada bagian dahi, tangan, kaki, dan aksila.
Ø  Kelenjar apokrin, yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental. kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenargi, terdapat di aksila, aerola mammae, pubis, labia minora dan saluran telinga luar.
Manusia memiliki dua jenis rambut, yaitu:
Ø  Rambut lanugo, denagn ciri pendek, tidak berpigmen, halus, dan akarnya di dalam dermis. Contohnya, rambut yang ada di pipi, rambut yang ada pada tubuh bayi (biasnya akan hilang setelah lahir).
Ø  Rambut terminal, dengan cirri lebih panjang, lebih kasar, berpigmen, berkumpul di daerah tertentu, dan akarnya di dalam subkutis. rambut ini memiliki siklus pertumbuhan yang lebih cepat, kurang lebih 1 cm per bulan (mis, rambut kepala).
2.1.3    Lapisan Subkutis
Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari jaringan adipose, banyak mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf juga terdapat gulungan kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak seperti epidermis dan dermis, batas dermis dengan lapisan ini tidak jelas.Pada bagian yang banyak bergerak jaringan hipodermis kurang,  pada bagian yan melapisi otot atau tulang mengandung anyaman serabut yang kuat. Pada area tertentu yng berfungsi sebagai bantalan (payudara dan tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada lapisan ini banyak berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama pada wanita.
2.2       Fungsi Kulit
Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya dalah:
2.2.1    Menutupi dan melindungi organ-organ dibawahnya
2.2.2    Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing yang dapat membahayakan tubuh. Fungsi ini merupakan fungsi perlindungan pasif. Selain fungsi perlindungan pasif, lapisan dermis berperan dalam proses menyiapkan limfosit yang di produksi oleh sumsum tulang sebelum benar-benar dipakai untuk menyerang berbagai mikroorganisme penyebab penyakit. Peran kulit dalam hal ini merupakan peran aktif dalam perlindungan tubuh.
2.2.3    Pengaturan suhu. Kulit, jaringan sub kutan dan lemak merupakan penyekat panas dari tubuh. Lemak menyalurkan panas sepertiga kecepatan jaringan lain atau dalam kata lain lemak menghambat pengeluaran panas dari tubuh. . Kecepatan aliran darah ke kulit menyebabkan konduksi panas sangat efisien. Konduksi panas ke kulit diatur oleh sistem syaraf simpatis. Syaraf simpatis mengatur kecepatan lairan darah dengan menstimulasi vaso konstriksi dan vaso dilatasi.
2.2.4    Ekskresi: Melalui perspirasi/berkeringat, membuang sejumah kecil urea.
2.2.5    Sintesis: Konversi 7-dehydrocholesterol menjadi Vit D3(cholecalciferol) dengan bantuan sinar U.V. Kekurangan UV dan Vit D mengakibatkan absorpsi Ca dari intestinal ke darah menurun.
2.2.6    Sensori persepsi: mengandung reseptor terhadap panas, dingin, nyeri, sentuhan /raba, tekanan. Juga mengandung ujung-ujung syaraf bebas yang berfungsi sebagai homeostatis.
2.3       Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
2.4       Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
2.5       Patofisiologi
Mekanisme penularan penyakit Morbus Hansen  diawali dari  kuman Mycobacterium Leprea. Kuman ini biasanya berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan asam (BTA) . Kuman Morbus Hansen ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis kecuali susunan saraf pusat. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan.
Kerusakan saraf pada pasien Morbus Hansen diakibatkan M.Leprae yang memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengan sel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindungi di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang makrofag  bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF(Growht Factor)  yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenal bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional.  Akibatnya akan mengalami gangguan fungsi saraf tepi seperti sensorik, motorik dan otonom. Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya luka pada tangan atau kaki, yang selanjutnya akan mati rasa (anestasi). Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah atau lumpuhnya otot kaki atau tangan, jari-jari tangan atau kaki menjadi bengkok. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya  gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat seumur hidup.
Kelainan juga terjadi pada kulit, dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam panu) bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nodul (benjolan). Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia.
Penyakit ini dapat menimbulkan ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Pada kornea mata akan terjadi kelumpuhan  pada otot mata  mengakibatkan kurang atau hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan. Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.
2.6       Klasifikasi
2.6.1    Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2.6.2    Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
2.6.3    Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
2.6.4    Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.


2.6.5    Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
2.7       Manifestasi Klinis
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal berikut.
Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan diperiksa ulangn setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
2.7.1   Makula Hipopigmentasi.
2.7.2   Hiperpigmentasi
2.7.3   Eritematgosa
2.7.4   Gejala Kerusakan Saraf (sensorik, Motorik dan Autonom)
2.7.5    Kerusakan jaringan (Kulit, Mukosa Traktusrepiartosius atas, tulang – tulang jari dan wajah).
2.7.6   Kulit kering dan alopesia
2.8       Pemeriksaan Penunjang
2.8.1    Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
a.    Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b.    Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain.
c.    Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d.    Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:
ü  Cuping telinga kiri atau kanan
ü  Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e.    Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
ü  Tidak menyenangkan pasien
ü  Positif palsu karena ada mikobakterium lain
ü  Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif.
ü  Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
f.     Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
ü  Semua orang yang dicurigai menderita kusta
ü  Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
ü  Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka kuman resisten terhadap obat
ü  Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g.    Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
h.    Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Bentuk kuman yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
2.8.2    Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0     :    Bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1     :    Bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2     :    Bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3     :    Bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4     :    Bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5     :    Bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6     :    Bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

2.8.3    Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.























2.9      Konsep Asuhan Keperawatan
2.9.1    Pengkajian
a.    Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b.    Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
d.    Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e.    Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan
f.     Pola Aktivitas Sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
g.    Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
ü  Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
ü  Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
ü  Sistem persarafan:
Ø  Kerusakan fungsi sensorik
         Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
Ø  Kerusakan fungsi motorik
         Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
Ø  Kerusakan fungsi otonom
         Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
ü  Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
ü  Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
2.9.2   Diagnosa Keperawatan
a.                   Resiko cedera b.d hilang rasa sakit akibat neuritis
b.                  Kerusakan intergritas kulit b.d adanya lesi
c.                   Isolasi sosial b.d perubahan bentuk tubuh
d.                  Hambatan mobilitas fisik b.d kelumpuhan otot
e.                   Harga diri rendah situasional b.d perubahan penampilan fisik

2.10    Intervensi NIC dan Hasil NOC
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan
Kriteria Hasil NOC
Intervensi NIC
1
a.             Resiko cedera b.d hilang rasa sakit akibat neuritis

1.  - Klien dapat menidentifikasi faktor faktor yang dapat meningkatkan resiko cedcera pada dirinya.
2.  - Klien dapat menjelaskan tujuan tindakan keamanan untuk mencegah cedera.

1)  ~ Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang tentang penyebab hilangnya rasa serta akibat yang ditimbulkan.
2)  ~ Kaji faktor penyebab atau pendukung terjadinya cedera.
3)  ~ Kurangi atau hilangkan faktor penyebab jika mungkin.
4)  ~ Ajari cara pencegahan:
a)      Gunakan selalu alas kaki.
b)      Jika merokok, gunakan pipa rokok dan jangan merokok sambil tiduran
c)      Kaji suhu air mandi. jika menggunakan air hangat gunakan termometer mandi.
d)     Gunakan pelindung tangan saat mengangkat kompor,.
e)      Jangan gunakan baju panjang ketika sedang memasak.
f)       Hati hati dan waspada selau jika beraktifitas di dapur.
5)      Diskusikan dengan keluarga tentang cara pencegahan di rumah.
2
Kerusakan Integritas Kulit b/d Adanya Lesi
-                    Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang.
-                    Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami.
-                    Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.
-                    Perhatikan aktivitas dan mobilisasi pasien
-                    Monitor status nutrisi pasien
-                    Membersihkan, memantau dan meningkatkan proses perbaikan pada kulit.
3
Isolasi Sosial b/d Perubahan bentuk tubuh.
 -     Menunjukkan peningkatan perasaan harga diri.
-    Berpartisipasi dalam aktivitas/progam pada tingkat kemampuan.
-                    Membantu pasien menggali dan memahami gagasan, motivasi dan perilaku pasien.
-                    Memfasilitasi kemampuan individuuntuk berinteraksi dengan orang lain.
4
Hambatan mobilitas fisik b/d Kelumpuhan otot
-                    Mengalami peningkatan dalam aktivitas fisik.
-                    Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas.
-                    Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah.
-                    Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi.
-                    Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan sehari-hari.
-                    Berikan alat bantu jika biperlukan.
5
Harga diri rendah situasional b/d perubahan penampilan fisik.
-                    Berpartisipasi dalam pembuatan keputusan tentang rencana asuhan.
-                    Melatih perilaku yang dapat menigkatkanrasa pervcaya diri.
-                    Pantau pernyataan pasien tentang harga diri.
-                    Temukan rasa percaya diri pasien dalam penilaian diri
-                    Kaji alas an – alas an untuk mengkritik atau menyalahkan  diri sendiri.











BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada makalah yang kami buat, dapat di simpulkan sebagai berikut :
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Klasifikasi bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe lepromatosa (LL)
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu :
a.      Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia
b.      Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
c.       Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus seryta peroneus.
d.      Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
e.      Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit
f.        Alis rambut rontok
g.      Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit.
Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri..
3.2       Saran
Agar pemerintah lebih meningkatkan upaya penyuluhan mengenai penyakit menular khususnya penyakit kusta.
Agar tugas pembuatan makalah seperti ini lebih sering diberikan agar dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.
Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi, keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2. Jakarta. EGC.
Mansjoer, Arif M. Kapita selekta kedokteran, jilid 1. 2000. Media aesculapius. Jakarta
Djuanda, Edwin. 1990. Rahasia Kulit Anda. FKUI. Jakarta.
Graham, Robin. 2002. Lecture Notes Dermatologi. Erlangga. Jakarta.
Melniek, dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Unair. Surabaya.
Nadesul, Hendrawan. 1995. Bagaimana Kalau Terkena Penyakit Kulit. Puspa Swara. Jakarta.