BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Epidemiologi
berasal dari bahasa yunani yaitu Epi yang berarti pada, Demos yangberarti
penduduk, dan Logos yang berarti ilmu. Jadi epidemiologi adalah ilmu yang
mempelajari hal – hal yang berkaitan dengan masyarakat.
Pada
era dewasa ini telah terjadi pergeseran
pengertian epidemiologi, yang dulunya lebih menekankan ke arah penyakit menular
ke arah – arah masalah kesehatan dengan ruang lingkup yang sangat luas. Keadaan
ini terjadi karena transisi pola penyakit yang terjadi pada masyarakat,
pergeseran pola hidup, peningkatan sosial, ekonomi masyarakat dan semakin
luasnya jangkauan masyarakat. Mula-mula epidemiologi hanya mempelajari penyakit
yang dapat menimbulkan wabah melalui temuan-temuan tentang jenis penyakit wabah,
cara penularan dan penyebab serta bagaimana penanggulangan penyakit wabah
tersebut. Kemudian tahap berikutnya berkembang lagi menyangkut penyakit yang
infeksi non-wabah. Berlanjut lagi dengan mempelajari penyakit non infeksi
seperti jantung, karsinoma, hipertensi, dll. Perkembangan selanjutnya mulai
meluas ke hal-hal yang bukan penyakit seperti fertilitas, menopouse,
kecelakkaan, kenakalan remaja, penyalahgunaan obat-obat terlarang, merokok,
hingga masalah kesehatan yang sangat luas ditemukan di masyarakat. Diantaranya
masalah keluarga berencana, masalah kesehatan lingkungan, pengadaan tenaga
kesehatan, pengadaan sarana kesehatan dan sebagainya. Dengan demikian, subjek
dan objek epidemiologi berkaitan dengan masalah kesehatan secara keseluruhan.
Perkembangan
epidemiologi sedemikian pesatnya merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan yang
harus lebih cermat dalam mengambil tindakan-tindakan yang tidak melenceng dari
jangkauan tersebut. Adapun yang menjadi pemicu perkembangan pesat tersebut
adalah perkembangan pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih yang
menuntut peningkatan kebutuhan masyarakat utamanya dalam bidang kesehatan
sehingga kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Selain itu, metode
epidemiologi yang digunakan untuk penyakit menular dapat juga digunakan untuk
penyakit non-infeksi. Apalagi dengan munculnya berbagai macam fenomena
kesehatan seperti penyakit baru dan lama (prevalensi) mendorong penelitian juga
semakin meningakat.
Pergeseran
ini pula yang menyebabkan pergeseran pengertian/definisi dalam epidemiologi,
yang tadinya hanya menekankan pada penyakit-penyakit menular, yang meliputi
pencegahan, pemberantasan penyakit menular ke arah mempelajari masalah-masalah
kesehatan yang terjadi pada masyarakat atau sekelompok manusia yang menyangkut
frekuensi, distribusi masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Epidemiologi lebih jauh mengalami perkembangan seiring dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menunjuk dalam Healthy People (Alan Dever, 1984),
secara umum dijelaskan bahwa untuk memperbaiki kesehatan penduduk, hal itu
harus disusun kembali dalam prioritas perawatan kesehatan dengan penekananlebih
besar pada pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Epidemiologi mulai
berkembang dari pengamatan atas pengaruh lingkungan terhadap penyakit.
Hippocrates 400 tahun sebelum masehi menganjurkan untuk mempertimbangkan arah
angin, musim, jenis tanah dan penyakit. Epidemiologi merupakan metode
pengumpulan dan analisis fakta untuk mengembangkan dan menguji kerangka piker
dan dapat menjelaskan terjadinya fenomena kesehatan. Setiap aktivitas
epidemiologi merupakan penerapan metode untuk mengumpulkan dan menganalisis
data sehingga dapat disajikan suatu informasi yang memperkaya ilmu pengetahuan
mengenai fenomena kesehatan tertentu dan untuk pengambilan keputusan atau
kebijakan dalam pelayanan kesehatan.
Sebagai suatu disiplin ilmu, epidemiologi dapat dianggap
sebagai ilmu dasar menyangkut mekanisme terjadinya penyakit dan fenomena
kesehatan pada umumnya. Disamping itu, epidemiologi dapat jga dianggap sebagai
ilmu terapan, yang memadukan ilmu-ilmu biomedik, biostatistika, dan
bioteknohlogi untuk memecahkan persoalan-persoalan kesehatan, khususnya
mencegah penyakit, disabilitas dan kematian. Dalam lingkungan rumah sakit, ilmu
epidemiologi dapat menjembatani kenginan klinis untuk menerapkan ilmu biomedik
dan bioteknohlogi dalam pengambilan keputusan klinik dan kenginan masyarakat
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang efektif, efisien , dan terjangkau
pada saat dibutuhkan.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Epidemologi dan
Keperawatan Bedah ?
1.2.2 Penyakit apa saja yang termasuk keperawatan
bedah ?
1.2.3 Jelaskan Epidemologi penyakit yang termasuk
keperawatan bedah ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat menjelaskan pengertian Epidemologi dan
Keperawatan bedah.
1.3.2 Dapat menyebutkan penyakit keperawatan bedah.
1.3.3 Dapat menjelaskan Epidemologi penyakit yang
termasuk keperawatan bedah.
1.4 Manfaat
1.4.1 Pembaca dan mahasiswa dapat mengetahui tentang
pengertian Epidemologi dan keperawatan bedah.
1.4.2 Pembaca dan mahasiswa dapat menyebutkan
penyakit keperawatan bedah mulai dari penyebab sampai dengan cara
penanganannya.
1.4.3 Pembaca dan mahasiswa dapat mengetahui tentang
perkembangan penyakit keperawatan bedah pada tingkat nasional maupun
internasional
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian / Definisi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penyebaran
penyakit serta determinan-determinan yang mempengaruhi penyakit tersebut.
Pada mulanya epidemiologi diartikan sebagai studi
tentang epidemi. Hal ini berarti bahwa epidemiologi hanya mempelajari
penyakit-penyakit menular saja tetapi dalam perkembangan selanjutnya
epidemiologi juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi, sehingga dewasa
ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang penyebaran penyakit pada
manusia didalam konteks lingkungannya. Mencakup juga studi tentang pola-pola
penyakit serta pencarian determinan-determinan penyakit tersebut.
Batasan Epidemiologi
sekurang-kurangnya mencakup 3 elemen :
2.1.1 Mencakup
Semua Penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik
penyakit infeksi maupun non infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi, kecelakaan lalu
lintas maupun kecelakaan kerja, sakit jiwa dan sebagainya.
2.1.2 Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran
penyakit-penyakit individu-individu, maka epidemiologi ini memusatkan
perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi (masyarakat) atau kelompok.
2.1.3 Pendekatan
Ekologi
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari
latar belakang pada keseluruhan lingkungan manusia baik lingkungan fisik,
biologis maupun sosial. Hal inilah yang dimaksud pendekatan ekologis.
Keperawatan medical
bedah adalah : Pelayanan profesional yang didasarkan Ilmu dan teknik
Keperawatan Medikal Bedah berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yg
komprehensif ditujukan pada orang dewasa dgn atau yg cenderung mengalami
gangguan fisiologi dgn atau tanpa gangguan struktur akibat trauma.
Keperawatan
medical bedah merupakan bagian dari keperawatan, dimana keperawatan itu sendiri
adalah : Bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprihensif ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun
sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan
berupa bantuan yang diberikan dengan alasan : kelemahan fisik, mental, masalah psikososial,
keterbatasan pengetahuan, dan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan
sehari-hari secara mandiri akibat gangguan patofisiologis, (CHS,1992).
2.2 Salah satu Jenis – jenis Penyakit Bedah
Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)
Radang usus buntu
yang dalam bahasa medisnya disebut Appendicitis, merupakan keadaan
kedaruratan yang harus cepat ditangani. Usus buntu, sesuai dengan namanya
bahwa ini merupakan benar-benar saluran usus yang ujungnya buntu. Usus ini
besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar yang letaknya
berada di perut bagian kanan bawah.
Usus buntu dalam
bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, Organ ini ditemukan pada
manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Pada awalnya Organ ini
dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini
diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara
aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) dimana
memiliki/berisi kelenjar limfoid.
Seperti
organ-organ tubuh yang lain, appendiks atau usus buntu ini dapat mengalami
kerusakan ataupun ganguan serangan penyakit. Hal ini yang sering kali kita
kenal dengan nama Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis).
Penyebab Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)
Penyakit radang
usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor
pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui
secara pasti. Di antaranya faktor penyumbatan (obstruksi) pada lapisan saluran
(lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia
(pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam
tubuh, cancer primer dan striktur.
Diantara beberapa
faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat dugaannya sebagai
penyabab adalah faktor penyumbatan oleh tinja/feces dan hyperplasia jaringan
limfoid. Penyumbatan atau pembesaran inilah yang menjadi media bagi bakteri
untuk berkembang biak. Perlu diketahui bahwa dalam tinja/feces manusia sangat
mungkin sekali telah tercemari oleh bakteri/kuman Escherichia Coli, inilah yang
sering kali mengakibatkan infeksi yang berakibat pada peradangan usus buntu.
Makan cabai
bersama bijinya atau jambu klutuk beserta bijinya sering kali tak tercerna
dalam tinja dan menyelinap kesaluran appendiks sebagai benda asin, Begitu pula
terjadinya pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin
ada bagiannya yang terselip masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya
menjadi media kuman/bakteri bersarang dan berkembang biak sebagai infeksi yang
menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.
Seseorang yang
mengalami penyakit cacing (cacingan), apabila cacing yang beternak didalam usus
besar lalu tersasar memasuki usus buntu maka dapat menimbulkan penyakit radang
usus buntu.
Gambaran Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)
Peradangan atau
pembengkakaan yang terjadi pada usus buntu menyebabkan aliran cairan limfe dan
darah tidak sempurna pada usus buntu (appendiks) akibat adanya tekanan,
akhirnya usus buntu mengalami kerusakan dan terjadi pembusukan (gangren) karena
sudah tak mendapatkan makanan lagi.
Pembusukan usus buntu ini menghasilkan
cairan bernanah, apabila tidak segera ditangani maka akibatnya usus buntu akan
pecah (perforasi/robek) dan nanah tersebut yang berisi bakteri menyebar ke
rongga perut. Dampaknya adalah infeksi yang semakin meluas, yaitu infeksi
dinding rongga perut (Peritonitis).
Tanda dan Gejala Penyakit Radang Usus Buntu
Gejala usus buntu bervariasi tergantung
stadiumnya;
·
Penyakit Radang Usus Buntu akut (mendadak).
Pada kondisi ini gejala yang
ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat
berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan
menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau
mual-muntah saja.
·
Penyakit Radang Usus Buntu kronik.
Pada stadium ini gejala yang timbul
sedikit mirip dengan sakit maag dimana terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah
sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Seringkali disertai
dengan rasa mual, bahkan kadang muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke
perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu nyeri
pd titik (Mc Burney)
(istilah kesehatannya).
Penyebaran rasa
nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu sendiri terhadap
usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter, nyerinya
akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih, dan mungkin ada gangguan
berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul pada
pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang lain,
rasa nyeri mungkin tidak spesifik begitu.
Pemeriksaan diagnosa Penyakit Radang Usus Buntu
Ada beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Tim Kesehatan untuk menentukan dan
mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis) oleh Pasiennya.
Diantaranya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiology ;
·
Pemeriksaan fisik.
Pada appendicitis akut, dengan
pengamatan akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana
dinding perut tampak mengencang (distensi). Pada perabaan (palpasi) didaerah
perut kanan bawah, seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari
diagnosis apendisitis akut.
Dengan tindakan tungkai kanan dan paha
ditekuk kuat / tungkai di angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut
semakin parah. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga. Suhu dubur
(rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang lagi
adanya radang usus buntu.
·
Pemeriksaan Laboratorium.
Pada pemeriksaan laboratorium darah,
yang dapat ditemukan adalah kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga
sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka
kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
·
Pemeriksaan radiologi.
foto polos perut dapat memperlihatkan
adanya fekalit. Namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis. Ultrasonografi (USG) cukup membantu dalam penegakkan
diagnosis apendisitis (71 – 97 %), terutama untuk wanita hamil dan anak-anak.
Tingkat keakuratan yang paling tinggi adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 –
98 %). Dengan CT scan dapat terlihat jelas gambaran apendiks.
Penanganan dan Perawatan Penyakit Radang Usus Buntu
Bila diagnosis
sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk penyakit radang usus buntu
(appendicitis) adalah operasi. Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung
terdiagnosa kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun
demikian tingkat kekambuhannya mencapai 35%.
Pembedahan dapat
dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan
pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari. Selanjutnya adalah
perawatan luka operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder
dari alat yang terkontaminasi dll.
2.3 Data Epidemologi tentang Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis)
Data epidemiologi
apendisitis jarang terjadi pada balita, insidennya hanya 1%. Apendisitis
mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya
pada saat remaja dan awal 20-an, sedangkan penderita apendisitis mengalami
penurunan menjelang dewasa (Pieter, 2005). Insiden 12 apendisitis
sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada
masa remaja ratio laki-laki : perempuan menjadi 3:2 dan pada usia diatas 25
tahun ratio ini menjadi 1:1(Telford, Condon, 1996).
Insiden
apendisitis pada laki –laki tertinggi pada umur 10 –14
tahun (27.6% per 10.000 penduduk), sementara pada wanita insiden tertinggi pada
umur 15 –19 tahun (20,5% per 10.000 penduduk) (Bernard & David, 2005;
douglas & david, 2005).
Appendicitis
menyerang 7-9% dari keseluruhan populasi di Amerika Serikat dan paling sering
ditemukan pada umur 10-19 tahun walaupun secara jelas dapat juga terlihat baik
pada pasien yang lebih muda maupun yang lebih tua. Insiden appendicitis di
Amerika Serikat sekitar 1,1 kasus setiap 1000 orang per tahun.Terdapat faktor
predisposisi dari keluarga. Insiden dari appendicitis adalah lebih rendah pada
negara dengan budaya konsumsi makanan tinggi serat. Serat makanan dianggap
mengurangi kekentalan feses, mengurangi bowel transit time dan mengurangi
pembentukan fekalit, yang dapat menyebabkan obstruksi lumenapendiks.
Insiden
apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang
(Pieter,2005). Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan di
Negara berkembang yang banyak mengkonsumsi makanan berserat.
Di Amerika
Serikat populasinya 11 kasus per 10.000 populasi tiap tahun, dimana terjadi
penurunan jumlah kasus dari 100 kasus menjadi 52 kasus tiap 100.000 penduduk
dari tahun 1975-1991(Jaffe dan Berger, 2005).
Di Indonesia
insidens apendisitis akut jarang dilaporkan.Insidens apendisitis akut pada pria berjumlah 242
sedangkan pada wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan
460 kasus (Ruchiyat dkk,1999).
Tahun 2008,
insiden apendisitis mengalami peningkatan. Hal ini diakibatkan karena
peningkatan konsumsi junk food dari pada makanan berserat.
Apendisitis
kronik insidennya hanya 1- 5
%. Di RSPAD Gatot Soebroto pada tahun 2009, menurut hasil patologi anatomi,
tercatat dari 108 penderita pendisitis hanya 13 orang saja yang menderita
apendisitis kronik.
Berdasarkan data yang didapatkan menurut DEPKES RI, jumlah
pasien yang menderita penyakit apendiksitis di Indonesia berjumlah sekitar 27%
dari jumlah penduduk di Indonesia, di Kalimantan Timur bcrjumlah sekitar 26%
dari jumlah penduduk di Kalimantan Timur, sedangkan dari data yang ada pada
rekam medik RS Islam Samarinda untuk bulan Januari sampai Juni 2009, tercatat
penderita yang dirawat dengan apendiksitis sebanyak 153 orang dengan rincian 57
pasien wanita dan 104 pasien pria. Hal ini membuktikan tingginya angka
kesakitan dengan kasus apendiksitis. Sebagian besar kasus apendiksitis di rumah
sakit Islam Samarinda diatasi dengan pembedahan. Hasil survey pada tahun 2008
Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah indonesia hingga saat
ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita penyakit
apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau
sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan
beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens
apendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan
abdomen lainya (Depkes 2008). Jawa Tengah tahun 2009, jumlah kasus
appendiksitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyababkan
kematian. Jumlah penderita appendiksitis tertinggi ada di Kota Semarang, yakni
970 orang. Hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada
masyarakat modern (Dinkes Jateng, 2009).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Radang usus buntu
yang dalam bahasa medisnya disebut Appendicitis, merupakan keadaan
kedaruratan yang harus cepat ditangani. Usus buntu, sesuai dengan namanya
bahwa ini merupakan benar-benar saluran usus yang ujungnya buntu. Usus ini
besarnya kira-kira sejari kelingking, terhubung pada usus besar yang letaknya
berada di perut bagian kanan bawah.
Ada beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan oleh Tim Kesehatan untuk menentukan dan
mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis) oleh Pasiennya.
Diantaranya adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiology ;
Bila diagnosis
sudah pasti, maka penatalaksanaan standar untuk penyakit radang usus buntu
(appendicitis) adalah operasi. Pada kondisi dini apabila sudah dapat langsung
terdiagnosa kemungkinan pemberian obat antibiotika dapat saja dilakukan, namun
demikian tingkat kekambuhannya mencapai 35%.
Pembedahan dapat
dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan
pembedahan, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari. Selanjutnya adalah
perawatan luka operasi yang harus terhindar dari kemungkinan infeksi sekunder
dari alat yang terkontaminasi dll.
Insiden
apendisitis pada laki –laki tertinggi pada umur 10 –14
tahun (27.6% per 10.000 penduduk), sementara pada wanita insiden tertinggi pada
umur 15 –19 tahun (20,5% per 10.000 penduduk) (Bernard & David, 2005;
douglas & david, 2005).
Di Indonesia
insidens apendisitis akut jarang dilaporkan.Insidens apendisitis akut pada pria berjumlah 242
sedangkan pada wanita jumlahnya 218 dari keseluruhan
460 kasus (Ruchiyat dkk,1999).
3.2 Saran
Penulis
mengharapkan perlu adanya peningkatan lintas sektoral dan peran serta pihak
surveilans Epidemologi khususnya di wilayah kendari .
DAFTAR
PUSTAKA
Soekidjo
Notoatmodjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat (Prinsip-Prinsip Dasar), Cetakan
Kedua, Rineka Cipta, Jakarta.
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/11/28/penyakit-yang-mengancam-jiwa-penyakit-radang-usus-buntu-appendicitis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar